Belajar Mengalahkan Ego


ego
Gara-gara tidak mengikuti kemauannya untuk masuk ke arena bermain pada mall yang kami kunjungi, si kecil ngambek (marah) tidak mau ikut makan siang. Bukan cuma itu, saat kami sekeluarga duduk mengelilingi sebuah meja makan di restoran cepat saji, dia malah memisahkan diri duduk di meja lain dengan tangan dilipat di atas meja dan bibir mungilnya maju beberapa centimeter ke depan.

Saya mencoba membujuknya dengan melambaikan tangan dan memanggilnya untuk duduk di kursi sebelah saya yang sengaja dikosongkan, tapi dia hanya menggelengkan kepala dengan mata dan raut wajah yang masih terlihat marah. Saya kemudian pura-pura marah juga dengan mengangkat bahu dan berusaha tidak lagi memperhatikan dia dengan bercanda bersama kakak-kakaknya. Seringkali saya meliriknya dan melihat dia juga mencuri pandang ke arah kami dengan kesal.
Terlihat serombongan tamu memasuki restaurant dan melangkah menuju meja yang diduduki si kecil. Saya tersenyum dan yakin ini kesempatan baik bagi saya membujuk si kecil. Namun ternyata lambaian tangan saya diacuhkannya, dia melangkah ke meja kosong lain di samping meja kami masih dengan wajah kesalnya.

Kali ini saya mengalah dan melangkah mendekatinya kemudian duduk berjongkok di hadapannya sambil menatap wajahnya. Terlihat ada sedikit air di sudut matanya yang pasti dengan usaha keras ditahankannya agar tidak jatuh. Saya langsung merasa iba dan menyesal tidak mendekatinya sedari tadi.

Kadang tanpa disadari kekerasan hati saya pun menahan saya untuk tidak bertindak lebih bijak walau semua itu dimaksudkan untuk mendidiknya agar menjadi anak shaleh. Selaku orangtua, kita tentu tidak selalu harus menuruti kehendak anak dan memenuhi semua apa-apa yang dimintanya, demikian pendapat saya. Tapi bagaimana cara kita menyikapi tentu masing-masing berbeda.

“Ke sana yuk, kita makan bareng sama teteh dan mama. Tuh makanannya udah datang. Ade suka sop buntut kan? Di sini enak lho.” Saya mencoba membujuk sambil memegang tangannya.

Dia menolak sentuhan saya dan makin memanjangkan bibirnya seolah menandakan dia sangat marah. Hal itu justru membuat saya tersenyum, wajahnya menjadi sangat lucu. Saya ingin tertawa, namun jika saya sampai tertawa di depannya saat ini, bisa dipastikan dia akan bertambah marah.

“Ade tau gak kalo mama sayang banget sama ade? Mama suka sedih kalo ade ga mau makan.” Sebisa mungkin saya perlihatkan wajah sedih untuk mengetuk nurani anak-anaknya. Sentuhan saya tidak ditolaknya lagi, namun masih terasa dia mengeraskan badannya dan kaku. Saya langsung memeluknya dan menggendongnya menuju kursi. Saya putuskan untuk memangkunya dan membiarkan kursi di sebelah saya kosong.

Saya kembali bercanda dengan kakaknya dan sesekali menciumi kepala si kecil sambil memeluknya. Saya bisa melihat dengan lebih jelas bahwa matanya semakin berkaca-kaca. Saya memeluknya dan membisikan kata-kata sayang di telinganya, membisikan permohonan maaf karena sudah mengecewakannya. Runtuh sudah pertahanannya, airmata meleleh di pipinya dan dia memeluk leher saya kuat-kuat sambil berbisik, “Maafin ade. Maafin ade.”

Begitulah selalu. setiap kali saya berkeras dengan keinginan saya dan dia berkeras dengan keinginannya, seringkali kami malah semakin marah satu sama lain dan saling menghindari. Namun ketika saya sudah bisa menguasai keadaan, mengontrol emosi saya, dan berpikir lebih jernih, saya biasanya memilih jalan lunak dan selalu berhasil.

Dalam hidup, seringkali kita memang harus mengalahkan ego diri untuk bisa mencapai hasil terbaik dan mencapai kata mufakat. Sebagai orangtua kita merasa memiliki kuasa atas anak-anak kita, sebagai pejabat kita merasa memiliki kuasa atas bawahan kita, sebagai suami kita merasa memiliki kuasa lebih tinggi dibanding istri, begitu seterusnya.

Namun terlepas dari apa pun yang kita sandang pada diri kita, sebenarnya ego diri kita lah yang harus kita kuasai. Bukan hal-hal di luar diri kita yang sulit kita kendalikan. Apapun yang terjadi di lingkungan kita, situasi dan kondisi yang ada divsekitar kita, tetaplah kita harus bisa menguasai diri kita terlebih dahulu. Setelah kita bisa mengendalikan diri dan menjernihkan hati serta pikiran, insya Allah apa pun yang ada bisa kita terima dengan baik walaupun itu mungkin tidak sesuai dengan harapan kita. Dan hidup akan menjadi lebih mudah kita jalani walau rintangan pasti akan selalu ada menghadang.


Leave a Reply