Bersikap Bijak Sebelum Memutuskan


bersikap sebelum memutuskan
Rencana pembangunan pabrik sampah di dekat rumah kami, menuai banyak pro dan kontra. Masing-masing merasa benar dan bersikukuh bahwa pabrik itu perlu demi kemaslahatan orang-orang se-Bandung Raya, sementara di sisi lain mengatakan bahwa pabrik itu akan merugikan masyarakat sekitarnya. Mungkin sudah terbayang di benak mereka, ton-an sampah yang menumpuk dengan bau khas yang terbawa angin menerpa hidung mereka, belum lagi lalat yang akan menjadikan lingkungan tidak sehat. Sementara saya, ikut menandatangani ketidaksetujuan atas pembangunan pabrik sampah itu dengan keyakinan hampir semua warga menolaknya dan ikut menandatangani petisi itu.

Malamnya, terpikir juga oleh saya mengenai masalah ini, mencoba menimbang-nimbang langkah yang telah saya ambil. Semua yang pro dan kontra bisa saya mengerti dan pahami. Kalau saya yang harus duduk di kursi pemerintahan itu, mungkin dibuat puyeng juga dengan masalah ini. Tiada hari tanpa kita menyampah (membuang sampah) dan terbayangkan gundukan setinggi gunung bila seminggu saja sampah se-Bandung ini dibiarkan menumpuk di satu tempat, dekat rumah saya. Ngeri membayangkan anak-anak saya berlarian dengan lalat dan bermain di sekeliling mereka. Jijik membayangkan saya sedang duduk di bawah pohon kersen sambil makan baso dengan ditemani semriwing bau sampah yang menyengat.

Jadi, sudah benar keputusan saya menandatangani petisi itu. Tapi, mesti dikemanakan ya sampah itu kemudian kalau memang pembangunan pabrik yang katanya serba bersih dan tak kan menumpuk itu batal dibangun di lokasi dekat rumah kami? Pasti harus dicarikan tempat lain yang tentunya juga akan ditolak masyarakat sekitarnya, pasti juga akan menuai pro dan kontra. Ah, jadi benar tidak ya keputusan saya itu? Mungkinkah jika kami mengalah justru semua akan terselamatkan?

Dari yang saya dengar dan baca di koran lokal, pabrik sampah itu akan menjadikan limbah sebagai pembangkit tenaga listrik. Bukankah hal itu artinya bermanfaat bagi sesama? Ah, bingung jadinya memikirkan hal-hal seperti ini. Saya gelengkan kepala dan menarik bantal untuk menutup wajah dan berharap bisa segera pulas tidur.

Esok harinya, saya lihat selembar kertas putih A4 melekat di dua rumah tak jauh dari rumah saya. Begitu saya baca, tertulis “RUMAH INI DIJUAL”. Entah karena alasan apa. Mungkin lingkungan kami dinilai tidak layak lagi untuk tempat tinggal karena akan dibangun pabrik sampah atau alasan lainnya.

Pindah rumah tak pernah jadi topik dalam rumah tangga kami. Saat kami membeli rumah ini, dengan keyakinan penuh kami akan mencintai rumah ini sepenuh hati, akan tinggal lama di dalamnya, dan berusaha menjaga rumah ini tetap hidup. Tetap hidup dalam artian rumah ini tak sekedar tempat tinggal untuk tidur saja, tapi juga tempat keluarga berkumpul, bercanda, curhat, do’a bersama, hingga tempat bernaung anak-anak yang kami besarkan dengan kasih mesra. Kami meyakini, pindah rumah bukan satu-satunya solusi untuk menjadi lebih baik, karena justru kami ingin belajar menikmati yang ada, beradaptasi dengannya, belajar, dan bertumbuh dengannya.

Bila dikaitkan dengan pabrik sampah, sepertinya kami tidak akan mengambil keputusan dengan cepat tanpa mengevaluasi dan tahu dulu keadaan sebenarnya seperti apa nanti. Selain karena keterbatasan kami dalam hal ekonomi yang tidak memungkinkan kami membeli rumah lain, pindah rumah merupakan pilihan terakhir untuk lari dari keadaan, karena kami yakin keputusan pindah rumah merupakan keputusan yang perlu dipikirkan masak-masak. Terlebih kini rumah kami dihuni oleh 7 orang yang terlanjur cinta pada bangunan yang dibangun dengan usaha seluruh keluarga. Semoga rumah ini menjadi tempat penuh rahmat bagi kami. Aamiin.


Leave a Reply