Keberanian Butuh Kekuatan


keberanian butuh kekuatan
Diperlukan kesabaran dan kekuatan untuk mengalahkan ketidakberanian bertindak, bahkan terkadang keberanian itu memberi resiko besar bagi diri kita. Namun manakala niat baik telah dicanangkan dalam hati kita dan segala kepasrahan kita sandarkan pada kekuatan Maha Pencipta, maka kenapa mesti kuatir pada resiko yang datangnya dari manusia.

Mungkin terdengar sentimentil atau bahkan terdengar seperti arogansi dari keberanian yang dianggap tak berdasar. Namun siapa lagi yang bisa menilai mahlukNya dari sudut hati nurani dan pikiran tersembunyi, kecuali Allah SWT yang Maha Mengetahui, sementara manusia lain hanya dapat melihat apa yang terlihat, hanya dapat mendengar apa yang terdengar, dan itu pun masih dibatasi oleh bagaimana pola pikirnya terbangun, bagaimana sudut pandangnya diarahkan.
Apa salahnya mencoba dan apa salahnya tidak mencoba? Mencoba menjadi salah manakala hasilnya tidak sesuai menurut ukuran kita yang hanya manusia, ini pun relatif karena ‘ukuran’ bagi tiap manusia berbeda. Tidak mencoba menjadi salah manakala orang lain telah mencoba dan berhasil, sementara kita tertinggal dan menyesal tidak melakukan apa-apa. Tidak mencoba juga bisa menjadi salah manakala kita hanya berdiam diri sementara Allah mengharapkan kita berusaha semampu kita. Dan Dia tak kan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tak mau berupaya merubahnya.
Saya jadi teringat perilaku anak-anak di sekitar rumah saya beberapa waktu lalu. Hari itu saya duduk diam membaca buku di depan rumah sambil sesekali memperhatikan anak-anak yang berlarian dan bersepeda di seputaran rumah. Baru saja saya kembali menundukkan kepala untuk meneruskan membaca, tiba-tiba saja terdengar suara “Gubrraakk…” disusul dengan suara tangisan keras. Saya langsung mengangkat kepala dan reflek berlari ke arah anak yang terjatuh dari sepeda.

Ketika saya sedang mencoba membantunya bangun, sementara teman-temannya berkeliling sambil menunjuk salah seorang anak yang dituduh membuat temannya celaka, ibu si anak yang jatuh menghampiri sambil menjewer telinga anak yang dituduh tersebut. Saya sempat bengong dan berpikir, apa iya memang anak itu yang menyebabkan anaknya jatuh, karena saya sendiri tadi tak sempat melihat dan setahu saya juga si ibu tidak ada di sekitar tempat kejadian untuk bisa melihat kejadian sebenarnya. Anak yang dijewer itu tentu saja langsung menangis pulang sambil memegang telinganya dan si ibu membawa serta anaknya pulang setelah mengucapkan terima kasih pada saya.
Baru beberapa langkah si ibu dan anaknya berjalan tiba-tiba terdengar, “Bu, bukan Adi yang menjatuhkan si Fulan. Tadi Fulan sepedanya menabrak batu waktu Adi sedang jalan di dekat situ. Adi tuh mau nolong Fulan, kok ibu malah menjewer telinganya?” Langkah si ibu tertahan sesaat, dia berbalik dan mengatakan, “Kamu gak liat anak-anak tadi bilang kalo Adi yang menjatuhkan Fulan? Lain kali jangan sok tahu ya,” katanya dengan mata melotot sambil bergegas menuntun sepeda dan anaknya.

Bisa saya lihat ada rona warna merah di wajahnya, hatinya tidak bisa membohongi dirinya sendiri dan itu tanpa disadari keluar begitu saja di wajahnya. Bagaimana pun, dia pasti menyadari di mana letak kesalahannya, hanya saja ego sebagai orangtua dan orang dewasa tidak memperkenankan dirinya untuk sekedar mengkoreksi diri, apalagi meminta maaf pada seorang anak kecil.

Terlepas dari kejadian sebenarnya yang luput dari pandangan saya, dalam hati saya memuji keberanian anak yang di antara teman-teman lainnya berani tampil beda dengan membela Adi, sementara yang lain menyalahkan. Dan terlebih lagi, dia memiliki kekuatan menegur si ibu yang dirasanya salah tanpa takut mendapat celaan atau jeweran di telinganya.

Apakah kita sebagai manusia dewasa bisa melakukan hal yang sama? Sementara di otak kita, dalam pikiran, kita mempunyai lebih banyak pertimbangan untuk setiap langkah yang akan diputuskan. Tak jarang pertimbangan-pertimbangan inilah yang justru menyesatkan, menghilangkan keberanian, dan sedikit demi sedikit memupus kekuatan yang seharusnya kita miliki.

Disaat kita menemukan sesuatu yang salah, yang tidak pada tempatnya, atau sesuatu yang kurang yang ingin kita perbaiki, kita berpikir berkali-kali dengan alasan hati-hati untuk segera bereaksi. Kita mempertimbangkan untung-rugi, mempertimbangkan resiko yang diterima, mempertimbangkan kedudukan dan status, mempertimbangkan budaya, dan mengesampingkan hal-hal penting yang justru mendasari nurani kita. Kita tak mau mendengarkan suara hati kita karena kalah oleh akal kita yang belajar dari pengalaman bahwa bila melakukan X bisa beresiko Y.

Dan hasilnya? Kita tidak berani mencoba, kita diam saja, kita melepas banyak kesempatan. Padahal mungkin bila kita coba, bila kita tidak diam saja, bila kita meraih kesempatan, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Paling tidak, usaha kita adalah cara kita belajar untuk memahami hidup. Bila salah, artinya kita bisa belajar dari kesalahan. Dan bila benar, maka kita akan mendapatkan kepuasan hati atas usaha yang kita lakukan. Tak ada salahnya berani mencoba selama masih dalam koridor kebenaran.


Leave a Reply