Bijak Berkata, Bijak Bersikap


art_113220
Aku teringat lagi hari itu, puluhan tahun yang lalu..berangkat sekolah dengan seragam merah-putih yang separuhnya ternoda karena minyak…sudah dicoba digosok dengan air, selain tak hilang malah membentuk garis-garis kusut yang menyurutkan usahaku untuk menghapusnya. Akhirnya memakainya saja dan pasrah dengan keadaan yang ada. Meski rasa malu tak mampu disembunyikan namun bujukan papi untuk tetap ke sekolah dengan kondisi itu membuatku melangkah dengan lemas menuju sekolah..

Masih teringat saat itu aku berharap angin mengeringkan dan mampu menghilangkan noda yang ada. Namun kering tetap memelihara bekas minyak dengan jelas bahkan jaket tak mampu menutupinya. Hari itu dipenuhi kesedihan, sambil melangkah menuju sekolah airmata terus turun dan lengan tak berhenti menyeka basahnya pipi. Betapa seringnya dunia terasa tak adil bagi kita…
Satu belokan lagi akan terlihat gerbang sekolah, maka sudah saatnya menarik sapu tangan dan membersihkan wajah, berhenti sebentar dan menarik napas sepanjang yang ku bisa. Seperti biasa, kuulangi kalimat ajaib yang ku punya : “Aku pasti bisaaa, tersenyumlah cantik”. Satu- dua, satu- dua, satu- dua kuucapkan hitungan dalam hati dan langkah-langkahku menjadi lebih cepat dilengkapi senyum yang kuciptakan dengan caraku…
Kelas sudah mulai ramai, beberapa teman hanya melirik dan tak berkomentar, beberapa wajah menyeringai saat melihat noda besar di seragam, beberapa lagi menanyakan ‘kenapa’. Saya hanya bisa tersenyum dan bilang : ‘ kena minyak’.

Saya tak bisa mengingat dengan jelas siapa pak guru yang dengan keras menegur : “heh, seperti anak kampung saja..apa gak ada seragam lainnya? Jorok sekali, apa-apaan kamu sampai kena minyak segitu banyak? Masih kecil mainannya seperti pembantu rumah tangga saja” kira-kira seperti itu kalimat yang teringat. Saya mengkerut mundur ke belakang, berusaha menahan tangis dengan mengepalkan tangan dibelakang punggung. Dan yang bisa keluar dari mulut saya hanya : “maaf pak, seragam satu lagi kan masih basah, baru dicuci tadi pagi”. Pak Guru masih mengomel mempertanyakan penyebab minyak dipakaian saya dan saya dengan suara yg getarnya tak bisa ditahan karna sibuk menahan mata yang membasah terbata-bata mengadu : “mami saya anfal tadi subuh saat sedang menggoreng bakwan pesanan. Dua wajan minyak panas tumpah ke separuh badannya. Saya hanya mencoba menolong dan memeluknya saja. Tadinya ingin ikut ke rumah sakit tapi papi meminta saya tetap sekolah…”

Saya tak lupa saat pak guru itu berjongkok di depan saya dan berbisik dengan suara pelan penuh penyesalan.. “mau Bapa antar pulang? Atau kita susul ke rumah sakit?” saya hanya menggeleng dan mengepalkan tangan lebih kuat ketika pandangan mulai terasa kabur oleh airmata yang memenuhi kelopak.

****ooo****

Ada banyak kejadian yang kita lewatkan begitu saja dan dengan mudah terlupa, tapi ada beberapa kejadian yang membekas dan seringkali teringat kembali ketika ada pemicunya. Setiap saya dituduh melakukan sesuatu yang tidak saya lakukan atau setiap kali saya diminta untuk mengkonfrontasi suatu kejadian yang tidak mengenakkan.. ingatan saya seringkali kembali mengenang kejadian diatas..
Dari pak guru, saya belajar untuk tidak serta merta memberikan penilaian dan menghakimi sesuatu apabila saya tidak paham sepenuhnya keadaan yang sebenarnya. Penyesalan belakangan tidak akan bisa mengembalikan rasa sakit, malu, kecewa yang pernah ditimbulkan akibat tuduhan. Apa yang sudah kita goreskan tak mampu mengembalikan airmata yang sudah menetes. Maka bijak berkata, bijak bersikap adalah penting dalam hidup.

Saya share cerita ini buat anak-anak saya tercinta; agar mereka senantiasa mensyukuri nikmatnya hidup, agar selalu menyayangi dan menghormati neneknya yang sempurna kekurangan dan kelebihannya, agar mereka punya kalimat-kalimat ajaib mereka sendiri yang membuat mereka jadi kuat saat diperlukan, agar mereka berlaku adil pada sesama, agar mereka belajar menahan diri dan selalu berhati-hati dalam mengambil tindakan…


Leave a Reply