Ikhlas Puasa


iklas dalam puasa
Suara si sulung terus terdengar di telinga berulang-ulang, “Bangunin Elva jam 3 pagi besok ya, mah!” Dengan heran saya bertanya, “Buat apa? Mau tahajud ya?” Saya setengah menggoda. Ini bukan kebiasaannya.

Sambil melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 20.40 WIB, saya kembali menyambung pertanyaan tanpa menunggu jawabannya, “Kalau memang mau tahajud, ya bobo aja sekarang. Dan ntar tengah malam, pasti mama bangunin buat shalat. Gak perlu nunggu jam 3 pagi.”

Dengan malu-malu dia mendekat pada saya dan berbisik, “Tapi teteh mau sahur besok, bayar utang puasa tahun lalu, sehari, waktu teteh sakit. Inget gak, mah?”

Dada ini langsung bergemuruh. Saya yang sedang asyik larut dalam sinetron, langsung berbalik dan menatapnya. Mata bulatnya yang bening dengan bulu mata lentik itu telah menghadirkan tangis haru di hati saya. Saya merentangkan kedua tangan saya dan tanpa menunggu lama dia pun luruh dalam pelukan saya. Saya mendekapnya kuat-kuat dan berharap dunia berhenti sesaat agar waktu untuk ini menjadi lebih lama.

“Mama lupa kalo teteh punya utang puasa. Untung aja teteh inget. Tapi teteh kan sekolah siang, nanti kelaparan dan kehausan di sekolah gimana?” tanya saya setengah meragukan keseriusannya untuk puasa.

“Gak apa-apa. Nanti istirahat di kelas aja. Gak usah ke luar kelas,” jawabnya mantap dan penuh keyakinan.

Saya kembali memeluknya. Bangga memiliki dia sekaligus juga malu karena sebagai orangtua terlupa mengingatkannya.
Sesungguhnya Ramadhan memang bulan yang ditunggu-tunggu seluruh umat muslim untuk menjalankan ibadah puasa. Bulan dimana kita tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga bulan penuh pelajaran berharga bagi kaum yang mau berpikir.

Kewajiban orangtua jugalah dalam membimbing anak-anaknya untuk belajar berpuasa dan menjalankan kewajibannya. Mengingatkan mereka makna dari puasa yang bukan sekedar tidak makan dan minum dari subuh sampai maghrib, tetapi puasa merupakan upaya menahan hawa nafsu, upaya berpikir jernih manakala perut kosong, dan upaya menahan kesabaran untuk mengumbar segala keinginan. Tidak mudah memang menerangkan dengan bahasa sederhana yang bisa ditangkap oleh anak-anak.

Sejujurnya sebagai orangtua, saya pernah merasakan berat melepaskan si kecil untuk berpuasa sehari penuh. Usianya baru akan mencapai 5 tahun kala itu. Ketika adzan dzuhur berkumandang, saya memanggilnya untuk makan dan kemudian kembali meneruskan puasa sampai maghrib. “Puasa ayakan,” begitulah kami menyebutnya sebagai tahapan untuk belajar puasa sehari penuh dan agar perut kecilnya tidak sakit. Tapi dia menolak makan siang yang saya tawarkan meski saya membujuknya dan mengatakan bahwa dia bisa kembali berpuasa sampai maghrib. Sampai akhirnya saya mengalah dan berpikir bahwa nanti adzan ashar dia pasti akan buka puasa juga. Tapi entah kenapa si kecil tetap berusaha bertahan untuk tidak berbuka puasa walau saya lihat wajahnya sudah pucat dan badannya terlihat lemas. Sampai menangis saya membujuknya untuk berbuka puasa. Dia tetap bertahan dan akhirnya tertidur dalam pelukan saya.

Di satu sisi, saya senang anak-anak dengan kemauan sendiri menjalankan ibadah puasa, tapi di sisi lain, hati saya sebagai ibu tak bisa berbohong bahwa ada rasa sedikit tidak rela melihatnya seperti ini. Ini ujian bagi saya selaku orangtua berkenaan dengan rasa ikhlas. Tidak ada yang mudah dalam menjalankan ibadah bila kita tidak bersungguh-sungguh berserah pada Allah SWT. Namun ketika semua kita pasrahkan pada kehendakNya, maka kita akan melihat dengan cara yang berbeda. Jalan di depan terbuka lebar, kita melangkah dengan penuh keyakinan dan segalanya menjadi lebih mudah.

Kuncinya adalah ikhlas. Ketika saya tidak sepenuhnya ikhlas, maka yang terasa adalah seperti ada beban ketika melihat si kecil lemas. Namun ketika melihat keikhlasannya menjalankan puasa dan hati saya mulai ikhlas mempercayai kemampuan dan kemauannya, maka yang ada adalah kebanggaan. Ramadhan selalu mengajarkan hal-hal baru bagi kami sekeluarga.

Ramadhan telah di depan mata. Saya menyambut bulan ini dengan berusaha membuka mata hati dan telinga hati lebar-lebar. Membuka hati ini seluas-luasnya untuk bisa mengambil hikmah dan pelajaran berharga yang Allah SWT berikan kepada kita. Meski belum menapak di bulan Ramadhan, namun anak-anak ternyata telah mengajarkan banyak hal pada saya. Apa kewajiban saya sebagai umat Rasullulah SAW, apa kewajiban saya sebagai orangtua, bagaimana saya harus menyikapi Ramadhan.

Semoga anak-anak kita bisa menangkap makna Ramadhan dan selalu merindukan kehadiran Ramadhan. Dan Ramadhan tahun ini memberi kebaikan lebih banyak lagi dibandingkan tahun sebelumnya. Aamiin.


Leave a Reply