Pasrah Kepada-Nya


Ketika pertama kali berangkat ke Sulawesi untuk menunaikan tugas dan menetap di sana, terpilihlah Adam Air sebagai alat transportasi dari Jakarta menuju Makasar untuk kemudian dilanjutkan dengan pesawat perusahaan milik PT. INCO yang memang merupakan satu-satunya alat transportasi udara menuju Soroako.

Seminggu setelah suami berangkat, saya dan anak-anak menyusul terbang dengan menggunakan Merpati Airlines menuju Makassar, disambung dengan pesawat menuju Soroako. Sejujurnya, saya agak kerepotan pergi dengan membawa tiga anak tanpa ditemani orang dewasa lain, namun karena sejak di Bandung anak-anak sudah diwanti-wanti agar tidak nakal selama perjalanan dan saya membujuk agar mereka mau membantu membawa barang-barang yang agak ringan, maka saya merasa sedikit tenang.
Kerepotan hanya terjadi pada saat saya harus menuntun mereka menuju ruang tunggu serta setiap kali pesawat akan lepas landas atau landing, ini disebabkan karena anak kedua saya memang takut pada ketinggian, sehingga walaupun dia duduk tepat di sebelah saya, tetap saja rasa takutnya membuat saya harus terus memeluknya.

Baru seminggu saya bergabung dengan suami, kami melihat semua media massa terutama elektronik mengupas berita mengenai hilangnya pesawat Adam Air di sekitar Sulawesi Selatan. Yang terlintas di pikiran saya saat itu hanyalah rasa syukur yang dalam karena suami saya bisa selamat sampai tujuan walau menggunakan pesawat Adam Air dan saya serta anak-anak juga selamat dengan menggunakan pesawat lain.

Alhamdulillah… Pastilah karena Allah berkenan melindungi kami dan kami masih diberi kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga.

Saat saya dan anak-anak harus kembali ke Bandung karena waktu liburan sekolah serta cuti saya telah habis, kami memastikan untuk memilih pesawat yang harga tiketnya tidak terlalu murah dengan harapan fasilitas serta keamanannya mungkin akan lebih terjamin hingga kami bisa sampai di Jakarta dengan selamat.

Sementara saat itu, berita mengenai di mana pesawat Adam Air jatuh masih juga belum jelas, ini membuat kekuatiran saya dan suami makin menjadi, terlebih anak kedua kami yang rajin mengikuti berita-berita di televisi sudah merengek-rengek untuk tidak pulang menggunakan pesawat. Suatu hal yang tidak mungkin karena rentang waktu untuk anak-anak kembali ke sekolah dan saya kembali bekerja tidak banyak.
Pesawat adalah pilihan yang paling bijak saat itu, terlebih berita musibah kecelakaan juga disusul dengan berita tenggelamnya perahu berpenumpang karena diduga membawa beban terlalu berat. Saya jadi bingung, alat transportasi apa yang paling aman? Terbayang naik kapal laut dengan membawa tiga anak. Wah, saya saja tak bisa berenang ditambah dengan tiga anak yang juga tidak bisa berenang, apa jadinya jika terjadi sesuatu di tengah laut, na’udzubillah, semoga Allah selalu menjaga kami.

Memilih pesawat dengan menilik harga tiket yang mahal atau fasilitas lebih yang ditawarkan oleh perusahaan penerbangan, ternyata juga masih belum cukup bisa menjamin bahwa kita bisa dipastikan ‘selamat’ sampai tujuan yang diinginkan. Hal ini juga menjadi pertimbangan saya dan suami saat untuk kesekian kalinya ‘harus’ terbang untuk bisa kembali berkumpul disaat cuti.

Selang beberapa bulan kemudian, sekilas judul yang tertulis di media massa terbaca oleh mata saya, dimana di situ diberitakan bahwa Garuda Airlines terbakar dan terbelah saat melakukan pendaratan. “Waduh, harus memilih pesawat apa kalau ayah pulang ke Bandung nanti?” Itu pertanyaan suami saya manakala dia meneleponku sesaat setelah membaca berita yang sama di koran lokal. Saya hanya diam dan mengingat-ingat nama-nama perusahaan penerbangan dan kejadian-kejadian yang menimpa satu-demi satu, terbakarnya pesawat X, jatuhnya pesawat Y, tergelincirnya pesawat Z, dan seterusnya.

“Sepertinya sekarang malah kita tidak perlu bingung lagi karena hampir semua jasa penerbangan pernah mengalami kecelakaan. Perjalanan lewat laut juga belum tentu aman karena perahu bisa tenggelam atau terbakar seperti berita kemarin itu. Ayah tahu kan harus gimana?” tanya saya.

“Hmm… Iya, pasrah aja. La haula wala quwata illa billah. Jika Allah berkehendak, tak seorang pun bisa menghindari kehendakNya. Permasalahan sebenarnya bukan kita harus naik apa, bukan kita mau ke mana, tapi bagaimana kita menyikapi setiap kejadian. Ya kan, mah?”

Dan bila kepasrahan telah benar-benar menghinggapi hati kita, insya Allah rasa was-was dan kebingungan tak kan ada lagi. Perjalanan sejauh apa pun, menggunakan kendaraan apa pun, akan tetap ditempuh tanpa keraguan. Insya Allah.


Leave a Reply