Sebuah Tanggung Jawab


tanggung

Sepulang kerja, saat berjalan-jalan di sebuah mall bersama teman sekantor, kami melewati sebuah toko yang menjual aneka akuarium lengkap dengan ikan dan kura-kura. Lama berada di situ untuk melihat-lihat, saya dan teman saya sepakat untuk membeli kura-kura yang pada waktu itu dijual dengan harga diskon, lengkap dengan kandang dan makanannya.

Menurut penjual toko, kura-kura kecil itu berusia 3 bulan dan sudah tidak rentan lagi alias sudah cukup kuat untuk dipelihara dan dipisahkan dari induknya. Memang, kami agak sedikit khawatir, kalau sudah dibeli, jangan-jangan setelah sampai di rumah malah langsung mati. Namun, dengan gaya penjual yang selalu memikat dan juga keinginan besar kami untuk memelihara kura-kura, maka jadilah teman saya membeli seekor kura-kura dan saya membeli sepasang kura-kura.

Esok harinya, teman saya memang benar-benar membawa kura-kura itu ke kantor. Sementara saya, terpaksa meninggalkan kura-kura milik saya di rumah karena anak-anak bersikeras akan merawat dan menjaganya. Walaupun saya katakan bahwa memelihara kura-kura itu tak semudah persangkaan mereka, namun mereka tetap berkeyakinan mampu menjaganya dan berjanji memberi makan tepat waktu serta bersedia mengganti air dan mencuci kandang dua hari sekali. Meski saya menyangsikan komitmen mereka, namun saya merasa harus memberi mereka kesempatan untuk belajar bertanggung jawab.

Minggu pertama memelihara kura-kura, teman saya dan anak-anak di rumah bersemangat melihat kura-kuranya, memberinya makan tepat waktu, menjemurnya sekitar setengah jam tiap pagi, dan mengganti serta mencuci kandangnya rutin tiap dua hari. Di minggu kedua, kura-kura milik teman saya yang berada di kantor terlihat seperti sakit, terdapat bercak-bercak putih di tubuhnya. Bahkan matanya pun terlihat sulit dibuka.

Teman saya terlihat sedih dan mengatakan pada saya bahwa ini terakhir kalinya dia membeli kura-kura, dia tak mau lagi memelihara kura-kura dan merasa tanggung jawab memeliharanya. Hal ini terasa berat, apalagi beberapa kali dia terlupa menjemur kura-kura terlalu lama hingga air tempat berendam kura-kura terasa hangat. Padahal, penjual sudah wanti-wanti agar dijemur sekitar setengah jam saja.

Belum lagi saat hari Sabtu dan Minggu dimana kami libur kerja, kura-kura ditinggal di kantor tanpa ada yang memeliharanya, walau tentu saja makanan diberikan berlebih di hari Jum’at untuk menghindari kelaparan dalam dua hari ke depan. Mungkin hal ini merupakan cara berpikir yang konyol, karena mungkin kura-kura itu malah eneg melihat banyaknya jumlah makanan yang tersedia dan kemudian malah mungkin tidak mau makan.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, akhirnya mati juga kura-kura milik teman saya. Dia merasa begitu bersalah karena tak mampu merawat secara optimal dan menyesal mengambil kura-kura itu dari lingkungan tempat tinggal sebelumnya. Dengan kejadian itu, saya kembali mengingatkan anak-anak di rumah agar menjaga kura-kura mereka dengan baik dan selalu berhati-hati agar kejadian serupa tidak terjadi pada kura-kura milik saya.

“Teh, jangan lupa nanti setelah shalat maghrib, air kura-kura diganti ya! Soalnya mama lihat sudah mulai butek tuh airnya,” ucap saya.

“Iya, besok diganti deh, Ma,” jawab anak saya.

“Lho, kok besok? Nanti aja setelah shalat maghrib, kan cuma sebentar, gak susah,” tanya saya.

“Besok ajalah, pagi-pagi sekali setelah shalat subuh deh,” jawab anak saya lagi.
“Ya terserah, mama hanya mengingatkan aja. Teteh juga pasti gak suka kalo harus tinggal lama di tempat yang kotor dan bau. Kalo gitu, mama aja yang ganti,” tutur saya.

Anak saya tetap bersikeras, “Pokoknya besok, teteh yang ganti airnya.”

Dan jadilah saya mengalah karena tak mau ribut berkepanjangan.

Esok harinya.

“Mamaaaa… Hiks… Hiks…” terdengar suara jeritan dan tangisan putri sulung saya.

Saya langsung melempar selimut yang sedang saya rapikan dan berlari menuju suara putri saya. Apa yang ada di benak saya saat itu adalah bahwa putri saya terjatuh saat menuruni tangga. Terbayang manakala si bungsu menjerit kesakitan sambil memegang dagunya yang robek karena terjatuh dari tangga.

Perasaan saya yang sudah sangat tidak enak, merasa sedikit tenang manakala melihat putri saya menangis tanpa terlihat ada luka apa pun di tubuhnya. Paling tidak, pasti bukan karena terjatuh. Sebab, dia tidak terlihat sedang memegang salah satu tubuhnya karena kesakitan seperti bayangan saya.

“Ada apa, teh?” tanya saya.

“Kura-kuranya mati. Hiks… Hiks…” terdengar suara penyesalan di sela isak tangisnya.

Saya meraih dan memeluknya, mengajaknya mengucap “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un”. Dia mengikuti suara saya dengan tersendat dan terdengar lirih bisikannya di telinga saya.

“Kenapa mati?” tanya saya.

“Salah teteh telat ganti air,” jawabnya.

Saya tersenyum dan mendudukan dia di pangkuan saya sembari berujar, “Mungkin umurnya emang cuma sampai tadi malam, kita gak tau pasti karena umur makhluk itu rahasia Allah. Tapi mungkin juga bener kata teteh tadi, kalau aja teteh ganti air sesegera mungkin, bisa aja dia belum mati saat ini. Tapi masalahnya bukan di situ. Kita tidak pernah tahu yang sebenarnya, makanya kita harus belajar tanggung jawab terhadap apa pun yang menjadi tanggung jawab kita agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.”

***
Hikmah dari kejadian tersebut adalah, seringkali manusia senang mengejar-ngejar jabatan, kedudukan, status, mengumpulkan barang mahal untuk prestise, dan lain sebagainya. Semua itu dianggapnya semata-mata sebagai kesenangan, keindahan, dan kebanggaan. Akan tetapi melupakan bahwa di balik semua itu terdapat tanggung jawab yang harus dipikul.

Terkadang, kita menggampangkan sesuatu dengan menundanya atau mengulur waktu karena yakin akan selalu ada hari esok. Tapi, sesungguhnya kita tak pernah tahu rencana yang telah disediakan Tuhan bagi kita. Kita tak pernah tahu bahwa kadang Tuhan memberikan hal yang berbeda dari yang kita inginkan, sehingga akhirnya kita timbul kecewa dan penyesalan.

Kita bisa mengeliminir semua rasa kecewa dan penyesalan jika kita mau belajar bertanggung jawab atas segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita. Kita harus berusaha maksimal sesuai kemampuan kita, sehingga tidak akan ada penyesalan berarti yang berkepanjangan di kemudian hari terhadap apa pun yang akan ditetapkan olehNya bagi kita.


Leave a Reply