Sikap Mempengaruhi Kebahagiaan


74470_620
“Orang yang bahagia bukanlah orang di lingkungan tertentu, tetapi orang dengan sikap tertentu.” (Hugh Downs).
Saya mulai memahami barisan kalimat itu setelah mendengar pengalaman Bapak Sobari, sebut saja demikian, dalam menjalani kehidupannya. Memang benar bahwa lingkungan mungkin memberi pengaruh kepada kita, tapi sesungguhnya kebahagiaan kita bukanlah tergantung pada lingkungan di mana tempat kita tinggal, kebahagiaan kita sangat tergantung bagaimana sikap kita dalam menjalani hidup, bagaimana cara kita dalam menyikapi persoalan hati. Dimana pun kita berada.

Siapa sih yang belum pernah bertemu dengan masalah? Semua orang pasti pernah bertemu dengan yang namanya masalah. Masalah kecil, masalah besar, tergantung dari cara kita memandang permasalahannya. Banyak orang menghindari masalah, karena sebagai manusia, yang kita inginkan adalah ketenangan hidup, bukan seabreg masalah yang memusingkan, apalagi menyakitkan.

Pada awalnya, saya sempat sedikit bingung dengan pengalaman Pak Sobari yang menurut saya agak ‘nyleneh’, karena beliau beberapa tahun belakangan ini berusaha menjemput masalah. Masalah kok dijemput? Bila hadir saja kita berusaha sekuat tenaga menghindarinya, ini malah seperti sengaja diundang.

Diusianya yang hampir 70 tahun, beliau hanya tinggal berdua dengan istrinya di sebuah rumah kontrakan berukuran kecil yang bila kita duduk di ruang tamunya, maka kita bisa melihat kamar tidur, dapur, dan kamar mandi sekaligus. Beliau dikaruniai 4 orang anak yang semuanya telah memberikan lebih dari seorang cucu.

Terbayang bila keluarga besar itu harus berkumpul di rumah kecil itu dengan 9 cucu yang masih terbilang kecil-kecil, pasti panas dan padat sekali. Tapi beliau menikmati keadaan itu, bahkan bercerita bahwa ini adalah pilihan yang memang ingin dirasakannya dan telah hampir 6 tahun dijalaninya. Beliau merasa bahagia dan tulus mensyukuri hidup justru setelah menemukan masalah-masalah yang harus dihadapinya dalam keadaan yang serba sempit dan merepotkan.

Sebenarnya beliau mempunyai sebuah rumah pribadi yang cukup besar di kawasan elite di tengah kota Bandung, juga beberapa hektar tanah produktif di pinggiran kota. Bisa dibilang hidupnya tak pernah kekurangan. Namun diusia senjanya, beliau bersama istri sepakat untuk mengontrakkan rumah milik pribadinya dan memutuskan untuk hidup jauh lebih sederhana dengan melupakan apa-apa yang telah dicapai dan dimilikinya.

Penghormatan yang biasa diterima dari lingkungan tempat tinggalnya terdahulu berganti dengan tatapan sinis dari tetangga atau orang sekitar di lingkungan gang-gang sempit tempat tinggalnya sekarang. Pakaian bermerk berganti dengan pakaian seadanya yang masih merk luar negeri namun dibelinya di Pasar Cimol (barang bekas pakai).
Yang jelas, bila kita hanya berpapasan dan bertemu selintas, maka yang ada di pikiran kita mungkin hanya rasa kasihan dan tak seorang pun berpikir bahwa ia sesungguhnya adalah orang berada. Sikap hidupnya telah menyetir dia menuju ke arah kebahagiaan yang diyakininya. Kebahagiaan mungkin tak bisa datang dengan sendirinya, tapi kita bisa memperbaiki sikap kita untuk bisa merasakan bahagia.

Ini kata-kata beliau yang saya coba ingat dan amalkan, “Saya sengaja memilih cara ini untuk belajar merubah sikap dalam memandang hidup ini. Dan sekarang, semua terlihat berbeda bagi saya. Saya bahagia diberi kesempatan untuk bisa merasakan jadi orang miskin sekaligus orang kaya. Saya bahagia ketika bisa menangis saat disakiti oleh orang-orang dan merasa menjadi lebih kuat setelahnya. Ini pengalaman luar biasa, ternyata lingkungan tidak bisa menentukan kebahagiaan saya. Saya pikir kemiskinan dan permusuhan bisa memperkosa kebahagiaan saya, tapi nyatanya saya malah merasa bisa bertahan untuk tetap bahagia dan menyikapi semua masalah dengan hasbunallahi ni’mal maula wa ni’mal wakil (cukuplah Allah SWT sebagai pelindung dan penolong kami).”

Di mana pun kita tinggal, lingkungan seperti apa pun yang ada di sekitar kita, selama kita bersikap dengan bijak dan menjadikan Allah sebagai pelindung dan penolong, apa lagi yang perlu kita kuatirkan? Yakinlah bahwa kita bisa menciptakan kebahagiaan itu di dalam hati kita.

Wallahu a’lam bishshawwab.


Leave a Reply