Tengoklah ke dalam Hatimu


hati
Sejak kecil, saya dekat sekali dengan bapak, hampir dalam setiap tugas-tugas sekolah yang tidak bisa saya selesaikan sendiri, saya selalu minta bantuan bapak. Hingga kuliah diploma saja, saya masih sering diantar jemput olehnya. Hubungan kami yang erat membuat saya tidak pernah segan atau malu menceritakan masalah-masalah pribadi seputar masalah remaja padanya, walau tentu saja tidak semua pandangan serta jalan keluar yang diusulkan beliau dengan serta merta saya ikuti. Lahir dari latar belakang serta pengalaman yang berbeda membuat saya dulu sering berpikir bahwa beliau seorang yang kolot, namun kesederhanaannya, kesabarannya dalam menghadapi hidup, selalu membuat saya tercengang dan pada akhirnya mengagumi beliau.

Bapak saya asli anak seorang petani, jauh di desa terpencil di Jawa Tengah sana. Hingga saat ini, hampir seluruh sanak saudaranya masih bertani, begitu juga dengan adik dan kakak-kakaknya, sementara beliau memilih ke luar dari desanya untuk membuat ‘terobosan’, begitu istilah beliau setiap kali bercerita tentang asal mula ada di Bandung. Bapak saya memilih jadi anggota ABRI, yang katanya berjuang sama kerasnya dengan petani, namun memiliki tantangan keluar lebih banyak.

Hingga saat saya remaja, beliau masih juga sering bercerita tentang terobosan yang dibuatnya, tentang bagaimana masa kecilnya dulu bersekolah dengan bertelanjang kaki karena jalan yang dilaluinya penuh batu-batu besar dan beliau memilih menenteng sepatu untuk menghindari terciptanya lobang di sepatu yang memang cuma satu-satunya ia miliki. Selalu cerita yang sama, membuat saya merasa ikut berada di dalam ceritanya, merasakan bagaimana sulitnya hidup yang dijalani bapak dan kemudian diam-diam mengagumi bapak yang selalu mensyukuri apa pun yang didapatkan. Bahkan sakit serta derita pun selalu disyukurinya, karena katanya itu merupakan bagian kenikmatan yang tertunda.

Setiap kali saya ‘curhat’ pada bapak tentang masalah-masalah yang saya hadapi, selalu pula dengan diawali kalimat yang sama. Beliau memulai memberi pandangannya, “Lihatlah ke dalam hatimu…” dan bila sudah begitu, biasanya selalu sulit saya memahami pandangan-pandangan beliau yang menurut saya terlalu berlebihan, sehingga menjadi sulit dijalankan.

Ketika saya bertengkar dengan sahabat baik saya di masa SMP dulu mengenai bacaan niat sebelum shalat, dimana saya dan teman saya berbeda pendapat mengenai itu, lagi-lagi bapak menasehati dengan kalimat yang sama, “Lihatlah ke dalam hatimu, kenapa musti meributkan hal-hal seperti itu? Bukankah yang terpenting kita menjalankan shalat, boleh dengan niat itu dibacakan, boleh juga dengan niat di dalam hati. Jangan sampai perbedaan pendapat membuat kamu kehilangan seorang teman baik, apa hati kamu mau seperti itu? Kalaupun berdebat, debatlah dengan cara yang baik, tidak perlu bertengkar. Lihat jauh ke dalam hatimu, bagaimana kamu ingin diperlakukan oleh orang lain, maka berlakulah demikian padanya. Sekali-kali mengalah tak ada salahnya, karena mengalah juga belum berarti salah.” Dan nasehat beliau benar-benar manjur, hingga saya punya anak tiga, saya masih bersahabat baik dengan teman saya itu. Dan kami masih sesekali berbeda pendapat, namun selalu bisa mendapatkan jalan keluar dengan baik.

Begitulah bapak, selalu membicarakan hal-hal di seputar hati. Kadang saya nilai terlalu baik, terlalu berlebihan, terlalu mengalah, dan seringkali membuat saya gemas. Pernah suatu kali, saya menegur bapak atas pemikiran dan sikapnya itu, disebabkan suatu kejadian yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Pagi itu bapak seperti biasa menyapu halaman depan rumah kami, seorang tetangga lewat di depan rumah dan bapak selalu menyapa siapa pun yang dia temui. “Pagi, pak. Wah, rajin ya sudah jalan-jalan…” Dan kulihat teguran bapak itu tak berbalas. Tetangga kami berlalu begitu saja dengan sekilas senyum sinis yang tertangkap oleh mataku.

Beberapa hari kemudian, kejadian serupa terjadi lagi tepat saat saya kembali sedang membersihkan kaca jendela rumah kami dan saya perhatikan bapak kembali menegur tetangga kami yang sedang lewat untuk berolahraga. “Pagi, pak. Olahraga ya, pak? Mampir dulu…” Dan kali ini kulihat selain sapaan bapak tak dibalas, dia juga sempat membuang (maaf) ludah. Duh, sakit sekali hati saya melihat kejadian itu. Bergegas saya ke luar dan mendekati bapak dengan agak marah. “Lain kali bapak jangan lagi menyapa dia. Bapak kan tahu dia selalu begitu pada bapak, bisa kan didiamkan saja.” Tapi lagi-lagi dengan ketenangan yang selalu terjaga, beliau hanya tersenyum dan berkata, “Tengoklah hatimu, suatu hari kamu pasti mengerti. Dan bapak yakin kamu akan bisa seperti bapak.” Saat itu saya hanya diam tak bisa berkata-kata lagi, namun dalam pikiran terbersit kalimat, “Saya tak kan mengijinkan orang memperlakukan saya semena-mena.”

Kini, setelah lewat enam tahun sepeninggal bapak, sedikit-sedikit saya mulai memahami setiap kalimat yang bapak sampaikan pada saya agar saya selalu menengok ke dalam hati saya setiap kali akan bertindak, setiap kali menemukan sesuatu yang tidak berkenan, setiap kali saya sedih, setiap kali saya gembira, bahkan setiap kali saya tak bisa melakukan apa-apa. Saya mulai sedikit mengerti mengapa kita musti melihat jauh ke dalam hati, karena pada dasarnya di hati itulah bertempat sesuatu yang benar, sesuatu yang tidak bisa kita pungkiri, sesuatu yang dimiliki semua manusia. Namun di hati jugalah keburukan bisa tersimpan dengan baik, kegelapan bisa memenuhi setiap relungnya.

Bila kita diliputi kebencian atau sakit hati, maka tengoklah ke dalam hati kita, barangkali kita terlalu lama tidak membersihkan dan membasuhnya hingga membiarkan bibit-bibit perusak hati tumbuh subur dan mempengaruhi sikap kita dalam memperlakukan orang lain. Hati bisa menjadi sebening embun, bisa menjadi selembut kapas, namun juga hati bisa menjadi gelap dan keras. “Dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.” (QS. Al-Maidah : 13).

Subhanallah… Semua tergantung pada kita, akan kita buat seperti apa hati kita. Bapak masih bisa tenang dan tersenyum manakala kesinisan dan cemooh ditemuinya pastilah karena bapak menjaga hatinya sedemikian rupa justru agar kebahagiaan senantiasa ada. Dan hingga akhir hayat beliau, alhamdulillah, kutemui kebahagiaan tak pernah usai memenuhi hari-harinya semata-mata karena ia menjaga hatinya.

Kini, saya tak lagi bersedih manakala Yang Kuasa memberi ujian hidup pada saya, saya mencoba menjadi seperti bapak untuk menengok jauh ke dalam hati. Walau saya tak bisa sesabar bapak, namun seperti yang bapak saya yakini, bahwa suatu hari nanti saya akan bisa seperti bapak. Dan semua tergantung pada usaha saya saat ini. Sulit? Ya pastilah, tapi saya yakin pada janji Allah SWT bahwa setelah kesulitan itu ada kemudahan. Aamiin.


Leave a Reply